NEWS

Impor Penggerus Pertumbuhan, Ekspor Pengerek Kemakmuran

Kalau negara lebih banyak impor, pertumbuhan ekonomi terjadi di negara-negara yang mengekspornya.

Konstruksi Media – Indonesia baru saja menyelesaikan tugas presidensi G-20 di Bali. Perhelatan yang megah, sukses, aman, lancar. Kepala negara/pemerintahan yang hadir happy (senang), delegasi happy, tamu undangan happy, penyelenggara, pendukung acara, pelaksana, dan panitia pun lebih happy.

Sebagai anggota negara-negara G-20, yaitu negara-negara dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) di atas 1 triliun US$, Indonesia kini ada di peringkat ke-15 dengan PDB 1,05 triliun US$.

Tahun 2045, ketika negeri ini berumur satu abad, peringkat Indonesia diprediksi ada di nomor 5 atau 6, dengan PDB lima atau enam kali lipat dari hari ini.

PDB atau GDP (Gross Domestic Product) saat ini masih menjadi ukuran kekayaan sebuah bangsa.

Amerika Serikat dan China, terus bersaing menjadi yang terbesar dengan kekayaan sudah menembus dua digit triliun US$. AS sebesar 20 trilun US$, China mendekati 15 triliun US$.

PDB dapat dihitung dengan tiga cara yakni menghitung nilai produksi barang dan jasa suatu negara, menghitung belanjanya, atau menghitung pendapatan per kapitanya.

Cara paling simpel dan lazim digunakan untuk menghitung PDB adalah dengan menjumlahkan konsumsi sektor privat (PC), investasi sektor privat (PI), investasi pemerintah (GI), belanja pemerintah (GS), nilai ekspor (X) dikurangi nilai impor (M). Formulanya menjadi: GDP/PDB= PC + PI + GI + GS + (X – M).

Baca Juga:  PUPR Ajak BNI Bangun Bank Sampah di Kawasan Hunian Pekerja Konstruksi IKN Nusantara

Dari formula itu, kita bisa simpulkan, setiap aktivitas impor mengurangi nilai PDB suatu negara. Artinya, pertumbuhan ekonomi negara yg lebih suka impor akan tergerus jika impornya terlalu berlebihan. Indonesia misalnya. Dengan PDB 16 ribu triliun rupiah, bila nilai impor Indonesia adalah sebesar 160 triliun rupiah, maka pertumbuhan ekonominya akan turun 1%.

Berapa impor Indonesia tahun 2021 lalu? Tercatat sebesar 15,26 miliar US$ atau sekitar 250 triliun rupiah. Maka, jika kita membuat kondisi ekstrem di mana impor adalah nol rupiah, pertumbuhan ekonomi yang tercatat sebesar 5% bisa bertambah 1,5% menjadi 6,5%. Tapi kondisi itu mustahil terjadi. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi impor dan menggantinya dengan produksi dalam negeri.

Baca Juga : Pemerintah Genjot Ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

Oleh karena itu, salah satu upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah mendongkrak tingkat kandungan dalam negeri atau TKDN. Gampangnya, kalau negara lebih banyak impor, pertumbuhan ekonomi terjadi di negara-negara yang mengekspornya. Lapangan kerja di negara eksportir meningkat. Kesejahteraannya juga ikut meningkat.

Di sektor ketenagalistrikan, upaya untuk meningkatkan TKDN terus ditingkatkan. Saat ini, angka TKDN-nya berkisar antara 46-47%. Angka TKDN di sektor ini, merupakan akumulasi dari penggunaan komponen atau peralatan di sektor hulu yaitu pembangkitan, sektor tengah/midstream yaitu transmisi, dan sektor hilir yaitu distribusi.

Baca Juga:  Potensi Melimpah, Pemerintah Gunakan Hidro Capai Target EBT

Upaya untuk menaikkan TKDN –yang artinya menekan penggunaan barang impor— yang persentasenya sangat signifikan adalah di sisi transmisi. Baru saja, PLN berhasil menyambungkan titik Selaru-Sebuku di Kalsel dan memberikan tegangan/energizing jaringan 150 KV. Jaringan transmisi tersebut dibangun dengan TKDN mencapai 86,7%. Dengan tersambungnya jaringan listrik tersebut, hampir 2 ribu rakyat di Pulau Sebuku yang tadinya hanya bisa menikmati listrik separuh hari, kini bisa menikmatinya sehari penuh alias 24 jam nonstop.

PLN JAmin ketersediaan listrik di pulau Sebuku Kalsel, operasikan SUTT jaringan 150 KV. Dok. Ist

Tidak hanya itu. Jaringan listrik itu juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan listrik industri smelter di Pulau Sebuku yang akan mengolah bahan mineral menjadi bahan baku besi. Industri tersebut tumbuh setelah Pemerintah melarang ekspor bahan galian tambang dalam bentuk mentah.

Maka, pembangunan jaringan transmisi Selaru-Sebuku dengan panjang lintasan 76,04 kilometer sirkuit (kms) yang ditopang pada 114 tower tersebut punya dua arti strategis. Pertama mengurangi impor peralatan pembangunan transmisi listrik. Kedua nantinya akan mengerek nilai ekspor secara signifikan dengan adanya produksi besi olahan dari bahan tambang setempat. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Baca Juga:  Halal Bil Halal APJASI : Kolaborasi Aktif Mengupayakan Budaya Keamanan

Mari kita lihat bagaimana tenaga kerja tercipta dari pembangunan transmisi.

Jalur transmisi Selaru-Sebuku ini ada unik-uniknya. Dari 114 tower yang dibangun, terdapat 3 tower di atas laut yang membelah Selat Sebuku. Selat ini termasuk selat yang ramai. Kapal hilir mudik di situ. Untuk itu, perlu dibangun tower yang lebih tinggi lagi. Supaya kapal-kapal tetap leluasa melintas tanpa terganggu oleh kabel yang melintang. Nah, projek pembangunannya sendiri mampu menyerap tenaga kerja lokal lebih dari 500 orang. Tepatnya adalah 539 pekerja lokal. Itu tidak termasuk pekerja organik dari PLN ataupun dari kontraktor pelaksananya.

Jika…. Jika saja TKDN di sektor ketenagalistrikan dan sektor-sektor yang lainnya makin meningkat –yang didukung dengan regulasi yang kuat untuk mendongkrak komponen produksi dalam negeri—pertumbuhan ekonomi tentu saja juga akan terkerek lebih kuat. Penciptaan lapangan kerja makin banyak; aktivitas ekonomi semakin tumbuh; dan ujung-ujungnya kesejahteraan atau kemakmuran juga semakin meningkat.

Ditulis oleh Corporate Secretary PLN Alois Wisnuhardana.

Baca Artikel Selanjutnya :

Related Articles

Back to top button