NEWS

Tegas! Jokowi Terbitkan Peraturan Larang Pembangunan PLTU

Peraturan itu menandai keseriusan pemerintah untuk mengembangkan pembangunan pembangkit listrik rendah emisi dan ramah lingkungan.

Konstruksi Media – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan aturan untuk melarang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk percepatan pengembangan penyedia tenaga listrik dengan energi terbarukan. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukkan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Peraturan itu menandai keseriusan pemerintah untuk mengembangkan pembangunan pembangkit listrik rendah emisi dan ramah lingkungan sekaligus pelarangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Dengan teknologi yang kita pahami saat ini, PLTU yang menggunakan batubara merupakan pembangkit listrik yang menghasilkan emisi, maka kita stop untuk pembangunan pembangkit baru, namun perekonomian tidak boleh terganggu dengan upaya-upaya ini,” ujar Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana melalui keterangan tertulis, Minggu (25/9/2022).

Ia mengatakan, pembangunan pembangkit saat ini dan masa mendatang akan mengarah ke green industry, secara ekonomi akan menjadi lebih baik. Menurut Dadan, dalam jangka pendek atau mikronya tidak akan mengurangi apa yang diperlukan sekarang.

“Tidak perlu khawatir kita kekurangan listrik sesuai dengan kebutuhan sekarang,” ucapnya.

Berdasarkan Perpres 112 tahun 2022 bahwa pembangunan pembangkit listrik akan dilakukan secara selektif dan pembangunan pembangkit bersumber dari EBT ditargetkan berjalan beriringan.

Baca Juga:  Resmikan Smelter di Konawe, Presiden Jokowi: Akan Tingkatkan Nilai Tambah Nikel

Pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini atau bagi PLTU yang memenuhi persyaratan.

Syarat pertama, terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran Energi Terbarukan.

“Ketiga beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050,” ucapnya.

Baca juga: Analis Sebut Proyek IKN Nusantara Beri Keuntungan untuk BUMN Karya

Penghentian dan pembangunan PLTU secara selektif merupakan salah satu program untuk memenuhi komitmen penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% di tahun 2030, atau bisa lebih tinggi dengan kerja sama dengan pihak internasional, serta mencapai target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.

Baca Juga:  Intip Yuk, Dua Ruas Tol Yang Baru Diresmikan Jokowi

Terkait penentuan tarif yang ditentukan dalam Perpres berdasar pada nilai keekonomian. Prinsip yang berjalan sekarang, yaitu patokan BPP yang berlaku di wilayah tersebut. Dadan mengungkapkan, Pemerintah berusaha mengkombinasikan seluruh sumber EBT supaya bisa dimanfaatkan di tanah air agar EBT menjadi sumber energi utama khususnya pembangkit listrik di dalam negeri.

Berangkat dari pemahaman ini, Perpres 112 tahun 2022 memang disusun dengan pendekatan nilai keekonomian per jenis pembangkit. Penentuan tarifnya dilakukan dengan memperhatikan masukan dari para stakeholder.

“Penyusunan dan penyiapan perpres ini cukup lama, kurang lebih 3 tahun. Saya mengikuti terus pertemuan-pertemuan pada saat penyusunannya, memang dalam prosesnya. Ada beberapa pergeseran dari sisi keekonomian dari pembangkit tertentu, dan kita buka itu di dalam Perpres ini, jadi nanti setiap tahun Menteri ESDM akan menetapkan kembali dari sisi harga,” jelas dia.

Tujuan mekanisme ini adalah untuk menjaga daya saing Indonesia. Pemerintah mendukung peningkatan pemanfaatan EBT, dukungannya dengan tingkat keekonomian yang wajar, dan dibuat sistem staging.

Baca Juga:  Wajah Baru TMII Usai Direvitalisasi Gunakan Dana Rp1,07 Triliun

Staging yang dimaksud disini adalah tarif yang berlaku akan berubah dalam beberapa tahapan. Pengusahaan pembangkit di 10 tahun pertama akan mendapatkan harga lebih tinggi dari harga rata-rata, setelah pengembalian investasi yang dipakai untuk membangun fasilitas/pembangkit terpenuhi atau dengan istilah balik modal (umumnya di 10 tahun).

Tahap berikutnya tarif tersebut turun karena sudah tidak ada keperluan untuk mengembalikan investasi, sehingga nantinya Pemerintah akan mendapatkan harga lebih rendah, dengan tetap memberikan porsi yang wajar bagi pengembang pembangkit di atas 10 tahun.

“Saya rasa tidak perlu khawatir mengenai tarif dan harga, karena proses penyusunan aturan ini disusun bersama dan sudah memperhatikan transparansi, akuntabilitas. Prosesnya nanti melalui tender dan angka tarif yang ada dalam Perpres ini adalah angka maksimum,” ujar Dadan.

Baca artikel selanjutnya:

Reza Antares P

Come closer, I will tell you an interesting story

Related Articles

Back to top button