HighlightsINFRASTRUKTUR

Dengarkanlah Jeritan Kontraktor dari Tanah Papua…

Mencari Sarjana Teknik di Tanah Papua, tidak mudah. Padahal keberadaan Sarjana Teknik merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi. Di mana Gapensi Pusat?

Konstruksi Media, Jakarta – Melkyanus Muay meradang. Sudah beberapa tahun ini, utamanya sejak pandemi Covid-19 melanda negeri, usahanya di bidang jasa konstruksi di Tanah Papua Barat, tak begitu menggembirakan. Apalagi, pemerintah menerbitkan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kondisinya kian terpuruk.

Pria asal Tanah Papua berusia 52 tahun dan penyandang gelar Sarjana Pendidikan (SPd) ini bukan tanpa alasan jika dirinya meradang. Bagi para pelaku usaha jasa konstruksi atau kontraktor kualifikasi kecil lain seperti dirinya, kehadiran UU Cipta Kerja dirasa sangat memberatkan.

Hal yang memberatkan antara lain adalah soal aturan perizinan berusaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan peraturan turunan dari UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Salah satu pemenuhan syaratnya adalah bahwa suatu badan usaha kualifikasi kecil wajib memiliki dua tenaga teknik. Satu jenjang 6 dengan syarat pendidikan Sarjana Teknik (ST), satunya lagi jenjang 4 atau pendidikan setara SMA.

“Kita di Papua, cukup kesulitan untuk mendapatkan jenjang 6 atau Sarjana Teknik, karena lembaga pendidikan tinggi baik universitas, perguruan tinggi atau sekolah tinggi yang menyediakan program studi Teknik Sipil secara keseluruhan di Papua, tidak banyak. Lalu, peminatnya juga tidak banyak sehingga output pendidikan tinggi prodi Teknik Sipil di Papua tidak bisa menjawab pangsa pasar dunia konstruksi di Papua,” kata Melky kepada Konstruksi Media yang menghubunginya melalui saluran telepon, baru-baru ini.   

MELKYANUS MUAY, SPd

Kondisi itu berimbas pada sulitnya pemenuhan persyaratan sebagaimana diamanahkan PP No 5 tahun 2021. Situasi ini lantas bak bola salju yang menimbulkan efek domino panjang terhadap kelangsungan bisnis usaha jasa konstruksi, khususnya kualifikasi kecil. Tidak sedikit pengusaha jasa konstruksi kualifikasi kecil di Papua yang kemudian gulung tikar.

Baca Juga:  Mengulas Transformasi, Inovasi dan Modernisasi Jalan Tol

Sebagai pengurus Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (Gapensi) Provinsi Papua Barat, ia paham betul bagaimana dampak yang terjadi setelah regulasi UU Cipta Kerja beserta turunannya diterbitkan pemerintah.

Pria kelahiran Serui, Papua tahun 1972 ini pun lantas menceritakan bagaimana aneka regulasi yang terbit sejak tahun 1999 (UU No 18 tahun 1999) hingga 2020 (UU Cipta Kerja), menggerus jumlah anggota Gapensi di Provinsi Papua Barat.  

“Sebelum pemekaran Provinsi di Papua Barat (kini menjadi Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya, red), jumlah anggota Gapensi di Papua Barat terdata di angka 1.075. Tetapi sekarang ini kami punya anggota tinggal 35 saja. Ini yang sudah melakukan registrasi ulang. Kalau yang belum meregistrasi ulang sekitar 600-an anggota,” kata Melkyanus Muay, Ketua Umum Badan Pimpinan Daerah (BPD) Gapensi Provinsi Papua Barat.

Baca Juga:  Kementerian PUPR Perbaiki 1.212 Rumah Tak Layak Huni di Papua Barat

Penyebab utamanya, kata Melky, bukan karena pemekaran wilayah provinsi. Melainkan karena regulasi, terutama UU Cipta Kerja yang dinilainya sangat memberatkan anggota.   

Mantan Sekretaris Umum BPD Gapensi Papua Barat periode 2011 – 2016 ini mengisahkan bagaimana di Papua Barat para kontraktor masih menggunakan format lama  dalam melakukan registrasi ulang untuk mendapatkan SBU (Sertifikat Badan Usaha).

“SBU yang digunakan di seluruh Tanah Papua masih format lama, yang masih mengacu pada UU No 18 tahun 1999. Ini kondisi nyata yang tidak bisa dihindari di Papua,” kata Melky, yang mewakili Gapensi Koordinator Wilayah (Korwil) Timur.

Diakui Melky, khusus untuk Papua, pemerintah memang sudah memberikan kemudahan berupa Perpres No 17 tahun 2019 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk Pecepatan Pembagunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Tetapi Perpres itu tidak bisa terlaksana dengan baik.

Baca Juga:  Pupuk Kaltim Bangun Pabrik Baru di Papua Barat Dengan Nilai Investasi Lebih Dari USD 1 Miliar

Pasalnya, hampir sebagian besar para pengusaha Papua tidak memiliki SBU yang bisa digunakan untuk mengikuti lelang dikarenakan terbentur persyaratan-persyaratan tadi.  Alhasil, tidak ada kompetisi.

Ironisnya, kata Melky, ketika menunggu paket penunjukan langsung, pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota di Papua melakukan penunjukan langsung meski perizinan berusahanya sudah tidak berlaku.

“Saya selalu bilang kepada teman-teman di pemerintah, tolong kalau bisa jangan tabrak aturan dengan memberikan paket pekerjaan kepada kontraktor-kontraktor di Papua yang perizinan berusahanya sudah mati,” kata mantan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Papua Barat ini.

Ironisnya, di saat sedang mengalami keterpurukan lantaran dihantam berbagai regulasi plus pandemi Covid-19 sehingga menyebabkan ribuan anggotanya menjerit, peran Gapensi Pusat dinilai kurang. Bahkan cenderung tidak melakukan upaya yang signifikan ketika ribuan anggotanya sedang mengalami permasalahan berat.

“Pengurus Gapensi pusat tidak melakukan gebrakan apa-apa dalam upaya menjawab permasalahan yang sedang dihadapi anggotanya di seluruh Indonesia. Di mana pengurus pusat ketika kami di Papua banyak menghadapi berbagai kendala di lapangan terkait regulasi? Kami di Papua akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri untuk menyelamatkan usaha masing-masing,” gugat Melkyanus Muay. (Hasanuddin)

Related Articles

Back to top button