HighlightsHSEINFO

Prof. ATM: Jika Kegagalan Konstruksi Dibiarkan, akan Menjadi Bom Waktu Kegagalan Bangunan

Kegagalan konstruksi yang apabila dibiarkan dan tidak segera diperbaiki, maka akan menjadi bom waktu sehingga menjadi kegagalan bangunan.

Konstruksi Media – Guru Besar Fakultas Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Ir. Agus Taufik Mulyono, MT., IPU. ASEAN.Eng hadir menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Permasalahan, Dampak, dan Solusi dari Kegagalan Konstruksi”.

Diskusi ini merupakan kolaborasi antara Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI), Hutama Karya (Persero), dan Perkumpulan Pakar Utama Bangunan Nusantara atau PU-Bangun yang terselenggara di HK Tower, Jakarta, pada Kamis (21/12/2023).

Pria yang akrab disapa dengan panggilan Prof. ATM itu mengatakan, kegagalan konstruksi adalah sebuah fakta malapraktik dari proses engineering dan perizinan. Ia menekankan, proses konstruksi tidak akan terlepas dari proses keinsinyuran.

Baca juga: Prof. Agus Taufik Mulyono Dipercaya Menjadi Ketua Forum Penilai Ahli Kegagalan Bangunan

“Jadi, kalau kita bicara jasa konstruksi, jangan terlepas kita bicara keinsinyuran, itu tidak bisa dipisahkan. Karena, satu urusan jasmani dan satunya urusan rohani,” imbuh Prof. ATM saat membuka sesi diskusi ini pada Kamis (21/12).

Perihal kegagalan konstruksi memang tidak termaktub di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi lantaran istilahnya diganti menjadi kecelakaan konstruksi.

Sementara di UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, atau UU lama, disebutkan perihal kegagalan pekerjaan konstruksi.

“Kita tidak mengenal namanya kegagalan konstruksi,” kata Prof. ATM.

Dengan demikian, kegagalan konstruksi bisa diartikan sebagai kegagalan proses konstruksi. Namun, kalau hal ini dibiarkan, maka suatu saat bisa berimbas pada kegagalan bangunan.

“Sebelum bicara ke kegagalan bangunan, sebaiknya ke kegagalan proses konstruksinya. Itu jauh lebih penting kita bicarakan untuk mengantisipasi kegagalan bangunan,” tutur pria kelahiran Pasuruan tanggal 17 Agustus 1965 tersebut.

Baca Juga:  Rakernas MTI 2023, Mencermati Agenda Transportasi Capres dan Cawapres Indonesia

Berkaitan dengan kecelakaan konstruksi, ditegaskan Prof. ATM, ini jelas berbeda dengan kecelakaan kerja. Oleh sebab itu, ia meminta publik untuk jangan sampai salah menginterpretasikannya.

Prof. ATM melanjutkan, kegagalan konstruksi apabila diartikan secara syariat dapat dimaknai sebagai kerusakan konstruksi yang terjadi pada saat proses konstruksi sebelum diserahterimakan.

“Hakikatnya adalah terjadinya proses penyimpangan mutu, melanggar aturan pada saat proses konstruksi, itu adalah hakikatnya. Kalau ini dibiarkan dan tidak diperbaiki, maka pada saatnya nanti entah kapan akan terjadi kegagalan bangunan,” katanya.

Sementara definisi dari kegagalan bangunan syariatnya adalah kerusakan bangunan yang terjadi setelah bangunan diserahterimakan.

Ia melanjutkan, maka hakikatnya adalah kegagalan konstruksi yang apabila dibiarkan dan tidak segera diperbaiki, maka akan menjadi bom waktu sehingga menjadi kegagalan bangunan.

Oleh sebab itu penyelenggara konstruksi dengan kompetensi yang dimilikinya, harus humanistis demi mencegah terjadinya kegagalan konstruksi tersebut.

Baca juga: Sebanyak 160 Hasil Riset Siap Dipublikasikan Dalam SNARSTEK 2023

Foto: Morteza Syariati Albanna.

“Endingnya kan sebenarnya kita ingin mewujudkan sebuah bangunan yang mengedepankan nilai manusia dan nilai kemanusiaan. Ini berarti rasa damai, rasa sejahtera, rasa bahagia, sehat dan selamat untuk meningkatkan … ekonomi yang lebih baik. Contohnya pada bangunan, bisa dirasa oleh pancaindera,” tutur Ketua Forum Penilai Ahli Kegagalan Bangunan itu.

Baca Juga:  Prof. Agus Taufik Mulyono Dipercaya Menjadi Ketua Forum Penilai Ahli Kegagalan Bangunan

Prof. ATM pun mengungkap setidaknya terdapat beberapa poin berkaitan dengan humanistis. Pertama ialah berbudaya, standard minded konstruksi harus konsisten menerapkan standar teknis dan mutu dengan mempertimbangkan kearifan dan budaya lokal serta estetika.

Kedua ialah beradab, maka inovative minded konstruksi harus mampu memajukan taraf kehidupan dan nilai kecerdasan manusia yang jauh lebih baik.

Ketiga yakni berkeadilan, maka equity minded konstruksi harus mampu melayani publik tanpa berpihak kepentingan tertentu dengan tingkat kemudahan mendapatkan manfaatnya.

Keempat yaitu berkeselamatan, safety minded konstruksi harus mempu memberikan jaminan keselamatan dan kepastian hukum bagi pengguna dan pemanfaatannya.

Kelima berkelanjutan, sustainable mind, konstruksi ramah lingkungan dan berfungsi terus menerus bagi kehidupan manusia, tanpa mengurangi hak generasi ke depan dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas pemeliharaannya.

Selanjutnya, Prof. ATM pun mengungkap bahwa engineer atau insinyur kerap terjebak pada tiap tahapan manajemen proyek. Ia mencontohkan ini seperti lingkaran di mana insinyur dapat terjebak mulai dari tahap perencanaan umum; prastudi kelayakan; rencana induk; Detailed Engineering Design (DED); studi AMDAL; pengadaan tanah; pengadaan jasa konstruksi; pelaksanaan dan pengawasan bangunan fisik; operasi & pemeliharaan; hingga evaluasi pascaumur rencana.

“Di setiap tahapan ini kita dihadapkan pada jebakan. Saya yakin teman-teman tidak ingin terjebak dan tidak ingin menjebakkan diri. Engineer insinyur bahkan orang yang sudah berpengalaman masih terjebak pada saat pelaksanaan, sering terjebak penyimpangan mutu akibat keterlambatan progres fisik untuk mempercepat progres,” ucap pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) periode 2021-2024 ini.

Baca Juga:  Tembus Rp358 Miliar, Kontrak Baru WSBP Meningkat Signifikan pada 2023

Prof. ATM lantas mengungkap dua akar masalah penyebab ketidaktepatan proses engineering dalam praktik jasa konstruksi dan keinsinyur yakni disebabkan faktor ekternal dan internal.

Pemicu eksternal dapat disebabkan target serba cepat dari tuntutan program kerja pemerintah, kurang terpadunya sinkronasi antarregulasi, kurang kolaborasi kerja sama antarlembaga, terlambat antisipasi manajemen big data dan kebencanaan, dan kurang optimalnya ketersediaan sistem pendanaan.

Sementara pemicu internal di antaranya kurang mumpuni kompetensi kerja konstruksi, kompetensi keinsinyuran hanya dianggap sebagai simbol, kurang patuh pada penerapan standar mutu, penerapan kode etik tata laku belum jadi ukuran, dan faktor standarisasi insentif remunerasi.

“Sampai saat ini saya belum melihat asosiasi profesi itu bisa memberhentikan anggotanya yang melakukan malapraktik. Padahal setiap profesi punya kode etik. Tidak pernah sertifikatnya dicabut,” kata Prof. ATM.

Jika ini dibiarkan, maka menurutnya, akan terjadi moral-hazard. Apabila ini dibiarkan juga, maka akan terjadi malapraktik. Lalu, jika ini diacuhkan, maka akan terjadi kecelakaan konstruksi yang bisa berimbas pada kegagalan mutu. Jika tidak ada perbaikan juga, maka akan terjadi kegagalan bangunan.

“Kalau itu terjadi secara masih bertahun-tahun maka terjadilah kerugian sektor konstruksi. Kita jangan sampai kehilangan kepercayaan publik dan kehilangan kepuasan publik. Endingnya, jangan sampai kita mengalami gagal bangunan, gagal fungsi, gagal kinerja, gagal manfaat, gagal pasar, gagal tujuan,” kata Prof. Agus Taufik Mulyono.

Related Articles

Back to top button